Perbedaan Pungli, Suap, dan Gratifikasi

Edukasi soal antikorupsi telah gencar dilakukan KPK sebagai bagian dari trisula pemberantasan korupsi. Namun masih banyak istilah yang belum dipahami oleh masyarakat terkait korupsi. Di antara istilah-istilah yang sering tertukar adalah suap, gratifikasi, pemerasan, dan uang pelicin.

Sebelum berbicara soal perbedaannya, kita bahas persamaan keempat istilah tersebut. Walau berbeda, namun keempat istilah ini sama-sama bentuk korupsi yang diatur hukumannya dalam undang-undang. Apapun bentuknya, korupsi adalah sebuah kejahatan yang bisa merugikan negara dan masyarakat. 

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk. Dari 30 bentuk tersebut, korupsi dapat dikelompokkan menjadi tujuh kategori, yaitu yang berkaitan dengan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. 

Dari ketujuh jenis itu, kita tahu bahwa suap, pemerasan, dan gratifikasi berada di kategori berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Uang pelicin masuk dalam kategori suap menyuap.

Sekarang mari kita bahas soal perbedaannya. Perbedaan istilah-istilah tersebut bisa dilihat dari waktu, tujuan, pelaku, dan intensinya. Perbedaan dari sisi pelaku bisa dilihat pada istilah suap dan pemerasan.

Suap terjadi jika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Sebaliknya, pemerasan terjadi jika petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Uang pelicin bisa menjadi gabungan dari suap dan pemerasan.

Suap dan pemerasan akan terjadi jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak. Berbeda dengan gratifikasi, yang tidak ada kesepakatan di antara keduanya.

Gratifikasi terjadi jika pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran atau transaksi apapun. Pemberian ini terkesan tanpa maksud apa-apa. Namun di balik itu, gratifikasi diberikan untuk menggugah hati petugas layanan, agar di kemudian hari tujuan pengguna jasa dapat dimudahkan. Istilahnya "tanam budi", yang suatu saat bisa ditagih.

Gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor yaitu Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. 

Penyuapan dan pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang tidak memiliki unsur janji, tetapi gratifikasi juga dapat disebut suap jika pihak yang bersangkutan memiliki hubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan hak yang bersangkutan. 

Hukuman Pidana

UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memuat hukuman pidana untuk keempat tindakan korupsi tersebut. Suap, Uang Pelicin, dan Pemerasan terkait jabatan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dengan pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp250.000.000. 

Sementara gratifikasi memiliki hukuman lebih berat. Dalam Pasal 12, hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Namun dalam kasus gratifikasi, penerima tidak akan terkena hukuman jika dia melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK.

(Sumber: https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220426-ini-beda-gratifikasi-suap-pemerasan-dan-uang-pelicin)